A.
SEJARAH SENI
RUPA KONTENPORER DI INDONESIA
Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal
70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai
pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang pengamat seni
rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya
pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap
usang.
Konsep modernisasi telah merambah semua bidang seni ke arah
kontemporer ini. Paling menyolok terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni
tari tradisional mulai tersisih dari acara-acara televisi dan hanya ada di
acara yang bersifat upacara atau seremonial saja.
Seperti diungkapkan Humas Pasar Tari Kontemporer di Pusat
Latihan Tari (PLT) Sanggar Laksamana Pekanbaru yang tidak hanya diminati para
koreografer tari dalam negeri tetapi juga koreografer tari asing yang berasal
dari luar negeri. Sebanyak 18 koreografer tari baik dari dalam maupun luar
negeri menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari kontemporer tersebut.
"Para koreografer sudah tiba di Pekanbaru, mereka menyatakan siap unjuk
kebolehan dalam pasar tari itu," ujar Humas Pasar Tari Kontemporer,
Yoserizal Zen di Pekanbaru
Lukisan kontemporer semakin melejit seiring dengan
meningkatnya konsep hunian minimalis, terutama di kota-kota besar. Seperti
diungkapkan oleh seniman lukis kontemporer Saptoadi Nugroho dari galeri Tujuh
Bintang Art Space Yogyakarta, "Lukisan kontemporer semakin diminati
seiring dengan merebaknya konsep perumahan minimalis terutama di kota-kota
besar. Akan sulit diterima bila kita memasang lukisan pemandangan, misalnya
sedangkan interior ruangannya berkonsep modern."
Hal yang senada diungkap oleh kolektor lukisan kontemporer,
"Saya mengoleksi lukisan karena mencintai karya seni. Kalaupun nilainya
naik, itu bonus," kata Oei Hong Djien, kolektor dan kurator lukisan
ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso, kolektor lukisan sekaligus
pemilik Nadi Gallery. "Saya membeli karena saya suka. Walaupun harganya
tidak naik, tidak masalah," timpalnya.
Oei dan Biantoro tak pernah menjual koleksinya. Oei memilih
untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai lukisannya di museum pribadinya.
Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra
Gunawan, dan Widayat terpampang di sana bersama karya-karya pelukis muda.
Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat
bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu
posmodernisme (akhir 1993 dan awal 1994), yang menyulut perdebatan dan
perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu.
B.
SEJARAH SENI
KONTENPORER DI ASIA TENGGARA.
Sejak
Marjorie Chu kali pertamanya membuka sebuah galeri seni rupa di Singapura pada
tahun 1971, dia berharap galerinya bisa sebagai jembatan atau mata rantai
antara seniman, kolektor dan pecinta seni. Dia membuka Raya Gallery di Cuscaden
House Hotel (sekarang Hotel Bulevard), dan ketika hotel direnovasi bentuknya
dia memindahkan Raya Gallery sebagai Specialists’
Centre. Kemudian, galerinya dinamai kembali Art Forum pada tahun
1980, sejak proses perjalanan. Di tahun 1989 Art Forum Pte Ltd menampung
pikiran-pikiran yang searah - tahun 1920-an di mana sebuah teras rumah dengan
canggih diubah menjadi sebuah ruang pameran. Pada lantai bagian atas rumah
tingkat dua ini ada sebuah ruang kantor dan stock
room. Koleksi karya seninya didisplay sebagai basis perputaran.
Sebelum
dia membuka galeri pertamanya, Marjorie memiliki sebuah karier menarik selama
sepuluh tahun sebagai seorang akuntan. Terlepas dari pekerjaannya yang full-time, dia menikah dan
mempunyai dua anak. Dia sangat tertarik akan seni rupa, maka setiap ada
penyelenggaraan pameran di Singapura dia selalu menghadiri, St. Andrew’s Mission Hospital Charity pameran
yang diorganisir oleh Dr. Ear Lu. Dalam rangka memahami seni rupa secara umum,
dia sering mengunjungi Singapore Art Museum,
dan Dr. Ear Lu sebagai penolong dalam memperkenalkannya lukisan Cina di
extra-mural ceramah kuliah yang diorganisir oleh University of Singapore. Marjorie juga menghadiri
sebuah kursus mengenai lukisan kontemporer di London yang mengajarnya bagaimana
cara membaca sebuah lukisan. Dia mulai dengan mengoleksi patungnya Ng Eng Teng,
lukisannya Lee Man Fong dan Thomas Yeo.
Sejak
Marjorie memutuskan meninggalkan profesinya sebagai seorang akuntan, dia ingin
mendirikan sebuah bisnis yang mengijinkannya untuk menggunakan lebih waktunya dengan
keluarga. Karena Marjorie seorang akuntan, sehingga dia cnderung berpikir
pragmatis. Pertama, ia memutuskan untuk mendirikan bisnisnya sendiri, dia
menyimpulkan bahwa sebuah galeri seni rupa paling sedikit memerlukan modal
sebab dia bisa mengambil dari hasil penjualan karya. Kedua, dia harus menyadari
pula bahwa dia masih dini; galeri sebagai mata pencaharian bisnis. Seandainya
tak ada seorangpun yang membeli lukisan, dia menyiapkan kebiasaan menyusun
sebuah side-business. Marjorie berpikir
jika dia menaruh investasinya ke dalam cetakan yang bisa dia serahkan tiga kali
dalam setahun, kemudian dia bisa menyerahkan stock-nya
lebih cepat jika dia menaruh semua dari investasinya ke dalam lukisan. Dia
mengira dengan tepat bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat menyiapkan
investasinya dalam sebuah lukisan dengan cepat. Jika dia ada keberuntungan,
mungkin dia akan menjual lukisan pada hari berikutnya atau barangkali dia akan
menyimpannya selama sepuluh tahun atau lebih, seperti telah terjadi pada banyak
kasus karya yang dikoleksi biasa dibingkai dalam sebuah bisnis, juga
membuktikan cara untuk menjadi yang baik pada klien baru. Ketika mereka datang
ke galeri, mereka akan melihat karya dan akan sering membelinya.
Setelah
pembukaan galerinya, Marjorie sangat aktif menghadiri pameran di Singapura. Dia
mengakui adanya Alfa Gallery menunjukkannya jalan kepada seniman avant garde dari setiap waktu. Dia
menjumpai banyak seniman di Alfa Gallery, Goh Beng Kwan, Khoo Sui Ho, Thomas
Yeo, Anthony Poon dan Choy Weng Yang. Sepanjang tahun 1970-an, dia membeli
banyak lukisan di sana, termasuk karya-karyanya Khoo Sui Ho dan Goh Beng Kwan,
dan pertama dia melihat karya seniman Malaysia Latiff Mohidin di Alfa Gallery.
Sejak
Marjorie melihat lukisan para Singapore
Pioneer Artists dan para mahasiswa, mereka telah menemukan
inspirasi baru pada perjalanan mereka ke Indonesia dan Malaysia, dia menyadari
bahwa orang-orang di Singapura yang dia maksud menjadi bagian dari Asia
Tenggara. Pada waktu itu, dan kini Marjorie sangat digairahkan oleh pembentukan
Negara ASEAN. Ada perdagangan bebas dan gerak bebas antara negara-negara ini,
seperti halnya merasa ada sebuah kesetiakawanan antar negara tetangga. Hingga
sekarang, dia berpikir tentang ASEAN terhadap lima negara sebagai anggota
pendiri - Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan Singapura. Marjorie
memutuskan bahwa dia perlu membuat tiap-tiap usaha kemungkinannya dapat untuk
melihat semua seni rupa di lima negara dan, mengapa koleksinya sangat fokus
pada seni rupa kontemporer ASEAN. Walaupun sekarang dia juga mempunyai sebuah
koleksi model seni rupa kontemporer dari India, Australia dan Jepang, namun
karya-karya ini tidak membentuk pada fokus koleksinya.
Marjorie
mengatakan, "Sepanjang tahun 1970-an, saya menyadari bahwa saya melebihi dari
seorang Singapura, saya adalah bagian dari Asia Tenggara, maka saya mengikuti
jalan kecil dari Seniman Pelopor dan pergi ke negara-negara ASEAN untuk melihat
diri sendiri. Dalam pencarian saya untuk seniman di negara-negara Asia
Tenggara, saya menggunakan teknik persisnya sama yang telah saya gunakan di
Singapura: saya pergi ke museum, pameran, perguruan tinggi seni, dan saya
menggunakan banyak waktu untuk bertemu dan berbicara dengan banyak seniman
lokal." Dia juga mulai merindukan hubungannya dengan art dealer, terutama Arturo Luz di
Philipina dan Hendra Hadiprana di Jakarta, keduanya adalah penasehat penting
untuk galeri-galeri yang masih muda.
Marjorie
mencari tiap karya-karya seniman yang menarik. Kemudian, ketika mungkin dia
membeli banyak dari karya mereka, atau mengambil beberapa karya yang dijual.
"Saya tidak punya agenda tertentu atau ingin mendaftar. Saya bersandar
pada yang wah! dan intuisi. Ini telah terbukti sukses. Tentang keuangan saya
cukup lancar dan saya mengaturnya untuk perpanjangan sewa buat galeri.
Bagaimanapun, saya mempertimbangkan bahwa sukses riil saya berada dalam
jaringan art dealer dan
seluruh seniman Asia Tenggara," dia mengatakan.
Setelah
beberapa tahun banyak mengoleksi karya seni, Marjorie menyadari bahwa
koleksinya itu merupakan dokumen penting sehingga orang lain boleh jadi mampu
memahami arti dan ruang lingkupnya. Dia memulai dengan mencoba untuk
menjelaskan karya ke keluarganya sendiri, dan teks untuk buku ini benar-benar
dimulai dalam wujud sebuah surat kepada putrinya Audrey. Karena Marjorie
mengetahui semua karya seniman telah dia koleksi, dia mengetahui bahwa dia bisa
meneliti dan menjelaskan karya mereka. Bagaimanapun juga, ketika dia hendak
memulai untuk menulis, dia menemukan kendala kalau dia tidak bisa mengetik
secara cepat, maka dia mencoba memakai jenis perangkat lunak lain yang akan
(menurut dugaan) mengetik kata-kata ketika dia berbicara. Metoda ini juga
membuktikan kegagalannya: nampak perangkat lunak seperti itu tidak bisa
mengenali semua kata-kata, terutama seperti ada istilah Indonesia, Thailand,
orang Philipina, orang Malaysia dan nama-nama Cina, seperti halnya banyak
terminology lain; seperti ikat, batik dan hilangnya penampakan lilin dalam
tulisan. Marjorie juga menemukan bahwa dia tidak bisa sesederhana merekam teks
ke dalam sebuah alat perekam dan kemudian memiliki penjelasan berupa teks
tulisan. Kapan saja dia mendengarkan apa yang telah dia rekam, dia akan
menghapusnya semua.
Secepatnya
Marjorie memutuskan bahwa satu-satunya metoda mungkin boleh jadi untuk mendikte
ke seseorang dengan kontak mata, seolah-olah dia sedang memarahi. Itu
adalah bagian saya dalam memulai proyek ini, dan setelah mengumpulkan
banyak waktu informasi direkam termasuk selama perjalanan ke Singapura,
kemudian saya mencatat, mengedit, membetulkan, mengubah, dan memastikan bahwa
teks masih membunyikan seperti suara Marjorie. Adalah menarik bahwa ini
merupakan proyek penulisan karena dibuat dengan fakta - seperti Maria Callas
tidak bisa menyanyi disebuah ruang studio rekaman, dan oleh karena itu semua
proses rekaman harus dilaksanakan pada saat sedang konser - Marjorie harus
lebih dulu melaksanakan sebuah pendengaran dalam rangka merekam material untuk
bukunya. Kebanyakan proses perekaman dilakukan di Singapura. Kaitannya dengan segala
aktivitas di galeri sepanjang siang hari, Marjorie dan saya sering menemukan
waktu yang terbaik untuk bekerja kadang terlambat pada malam hari sampai pagi
hari, tetapi sungguh sial ini kadang-kadang bermaksud untuk mendengarkannya
mungkin sudah mulai mengangguk batal terus tidur di dipan. Paling mengesankan
ketika sesi perekaman lain mengambil tempat selama perjalanan kereta dari
Bandung ke Jogjakarta, dan kita juga merekam sebagian dari material selama
perjalanan ke Bali, Jakarta dan Magelang di Indonesia. Keseluruhan proyek
adalah sebuah pelajaran pengalaman yang menyenangkan yang membuka wah! kepada
image yang besar tentang seni rupa kontemporer Asia Tenggara.
Bukannya
hendak membagi buku ke dalam bab tentang penggolongan seniman luar negeri, kita
menyadari bahwa hal itu jadi lebih menarik ketimbang mencampur-adukkan semua
seniman dari berbagai negara ke dalam bab yang memusatkan pada gaya tertentu,
seperti drawing, still life (lukisan
alam benda), lukisan figuratif, lanscape, patung, seni abstrak, dan seterusnya.
Dengan cara ini mungkin Marjorie dapat membandingkan perbedaan antara konsep
dan gaya seniman diberbagai negara Asia Tenggara. Dia dapat juga membuat cross-references antara seni dan
craft (kriya): dia interes pada seni rupa Asia Tenggara untuk belajar tenun
tekstil, teknik membatik dengan lilin, pernis, cor perunggu dan keramik. Satu
bab fokus pada traveling dengan para seniman ke Bali, Australia, China, India
dan Skotlandia; dan di sana tiga bab memusatkan pada seniman-seniman individu -
Srihadi Soedarsono, Goh Beng Kwan dan Chua Ek Kay.
Sepanjang
proses dalam mendokumentasi koleksinya, Marjorie merasa bahwa dia telah
menemukan unsur-unsur penting dalam bahasa tentang seni rupa kontemporer Asia
Tenggara, meringkas dengan point-point sebagai berikut:
Teknik
kuas Cina yang sudah melebihi seperti tulisan tinta
Pengaruh craft, ritual dan kehidupan rakyat mewarnai pada seni rupa
Hitam dan putih diterima sebagai warna dalam seni rupa di Asia Tenggara
Pilihan untuk komposisi horisontal dan vertikal
Kertas dan kain kanvas sebagai media yang sama penting dalam seni rupa
Pengaruh craft, ritual dan kehidupan rakyat mewarnai pada seni rupa
Hitam dan putih diterima sebagai warna dalam seni rupa di Asia Tenggara
Pilihan untuk komposisi horisontal dan vertikal
Kertas dan kain kanvas sebagai media yang sama penting dalam seni rupa
Kita
bermaksud mengucapkan rasa terima kasih kembali kepada Audrey untuk pembacaan
kritisnya dan pertanyaannya yang provokatif selama proses editing; Mary Tolman
untuk koreksi naskah dengan saksama tentang draft akhir; Chen Shen Po untuk
ketrampilannya dalam menempatkan berbagai peta hand-drawn oleh Marjorie Chu; dan Pandu untuk
keahliannya dalam memanipulasi koreksi warna dari image yang diteliti.
Ketika
kita mengerjakan revisi teks akhir, kita bisa melihat candi Borobodur yang
bagus sekali jauhnya hanya beberapa ratus meter. Pada saat itu, kita merilis Understanding Contemporary Southeast AsianArt
menjadi judul paling sesuai untuk buku ini, sebab Marjorie paling tertarik akan
seni rupa kontemporer Asia, dan dia memahami "Big Picture" tentang
seni rupa di Asia.
C.
PENGERTIAN SENI
RUPA KONTENPORER
Seni
Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer
itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama
dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi Seni kontemporer adalah seni
yang tidak terikat oleh aturan-aturan jaman dulu dan berkembang sesuai jaman
sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan
situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat
pada Rennaissance.
Begitu
pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern. Kata “kontemporer” yang berasal
dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni
kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang
sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer
adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan
dari wacana postmodern dan postcolonialism yang berusaha membangkitkan wacana
pemunculan indegenous art. Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal
(negara) para seniman.
Secara
awam seni kontemporer bisa diartikan sebagai berikut:
1. Tiadanya
sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni
lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga
aksi politik.
2. Punya
gairah dan nafsu "moralistik" yang berkaitan dengan matra sosial dan
politik sebagai tesis. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan
komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
D.
CIRI-CIRI SENI
RUPA KONTENPORER
1.
Tidak terikat oleh
aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman.
2.
Tidak adanya sekat antara
berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung,
grafis, kriya, teater, tari, musik, hingga aksi politik.
E.
SENIMAN SENI
RUPA KONTENPORER
Sebelumnya kita semua sudah mengtahui bahwa sejak
munculnya seni rupa kontenporer di Indonesia sejak itu pula tiap hari
seniman-seniman dari bidang ini bermunculan. Bukan hanya di Indonesia di Negara-negara
lainpun sudah banyak seniman yang menggeluti atau mengekspresikan hasil karya
seninya dalam bentuk seni rupa kontenporer. Seniman seniman seni rupa
kontenporer tersebut diantaranya yaitu:
1. ANDY WARHOL PORTRAIT
Secara
Personal, banyak tokoh dalam Seni Lukis Kontemporer, namun dalam
perkembangannya saat ini, Andy Warhol merupakan salah satu tokoh yang
menerapkan Seni Lukis Kontemporer pada berbagai hasil karya lukisannya.
Andy
Warhol lahir 6 Agustus 1928 dan meninggal pada 22 Februari 1987 id usia 58
tahun. Andy Warhol merupakan penggerak dalam Seni Lukis Kontemporer, selain itu
dia juga sebagai seniman, dan sutradara avant-grande. Warhol juga bekerja
sebagai penerbit, produser rekaman dan aktor. Dengan latar belakang dan
pengalamannya dalam seni komersil, Warhol menjadi salah satu pencetus gerakan
Pop Art di Amerika Serikat pada tahun 1950an.
Sebagai anak
kelahiran Pittsburgh, Andy Warhol pindah ke New York pada usia 21 tahun untuk
menjadi seorang seniman komersial. Pekerjaan ini memberinya pengalaman dalam
pencetakan silkscreen, yang pada akhirnya menjadi media pilihannya. Warhol
membuat lukisan mulai dari objek yang familiar seperti sup kaleng dan brillo
pads. Setelah periode yang singkat dengan lukisan tangannya, Warhol mulai
menggunakan teknik mekanik untuk memproduksi karyanya secara massa. Ia tertarik
dengan budaya populer, yang ia buktikan dengan mulai melukis selebriti dan
kliping koran. Warhol juga membuat film dan bekerja sama dengan band rock, The
Velvet Underground.
Di luar dunia seni,
Warhol dikenal dengan ucapannya “Di masa depan semua orang akan menjadi
terkenal selama 15 menit”. Dia berkata kepada beberapa reporter, “Kalimat
terbaru saya adalah, ‘Dalam lima belas menit, semua orang akan menjadi
terkenal’”. Karya-karyanya yang paling dikenal adalah lukisan-lukisan kemasan
produk konsumen dan benda sehari-hari yang sangat sederhana. Di antaranya
gambar sebuah pisang pada cover album musik rock THE VELVET UNDERGROUND & NICO (1967), dan juga
untuk potret-potret ikonik selebritis abad 20, seperti Marilyn Monroe, Elvis Presley, Jacqueline
Kennedy Onassis, Judy Garland, dan Elizabeth Taylor. Sementara
sebagai aktor ia telah membintangi puluhan film sejak masa hidupnya. Di antara
film suksesnya adalah BLOW JOB
(1963), EAT (1963), BATMAN DRACULA (1964), dan BLOOD FOR DRACULA (1974).
2.
SINDUDARSONO
SUDJOJONO
Sindudarsono Sudjojono (1913-1985) Dia pionir
yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pantas saja komunitas
seniman, menjuluki pria bernama lengkap Sindudarsono Sudjojono yang akrab
dipanggil Pak Djon iini dijuluki Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. Dia salah
seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Jakarta tahun 1937
yang merupakan awal sejarah seni rupa modern di Indonesia.
Ia seorang nasionalis yang menunjukkan pribadinya melalui
warna-warna dan pilihan subjek. Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam
Basoeki Abdullah sebagai tidak nasionalistis,
karena melukis perempuan cantik dan pemandangan alam. Sehingga Pak Djon dan
Basuki dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak 1935. Pak Djon
lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran,
Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh.
Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan
dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudianmembawanya ke
Batavia tahun 1925.
Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai
dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada Lukisan
pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu
lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya
yang monumental antara lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh,
Pengungsi dan Seko. Ada
beberapa karya pesanan yang dibanggakannya. Di antaranya, pesanan pesanan
Gubernur DKI, yang melukiskan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan
Pieterszoon Coen, 1973. Lukisan ini berukuran 300310 meter, ini dipajang di
Museum DKI Fatahillah.
Secara profesional, penerima Anugerah Seni tahun 1970,
ini sangat menikmati kepopulerannya sebagai seorang pelukis ternama.
Karya-karyanya diminati banyak orang dengan harga yang sangat tinggi di
biro-biro lelang luar negeri. Bahkan setelah dia meninggal pada tanggal 25
Maret 1985 di Jakarta, karya-karyanya masih dipamerkan di beberapa tempat,
antara lain di: Festival of Indonesia (USA, 1990-1992); Gate Foundation
(Amsterdam, Holland, 1993); Singapore
Art Museum (1994); Center for Strategic and International Studies
(Jakarta, Indonesia, 1996); ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia,
1997-1998).
KESIMPULAN:
Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal
70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai
pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang pengamat seni
rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya
pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap
usang.
Konsep modernisasi telah merambah semua bidang seni ke arah
kontemporer ini. Paling menyolok terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni
tari tradisional mulai tersisih dari acara-acara televisi dan hanya ada di
acara yang bersifat upacara atau seremonial saja.
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang
terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau
lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau
saat ini. Jadi Seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh
aturan-aturan jaman dulu dan berkembang sesuai jaman sekarang. Lukisan kontemporer
adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang
dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance.
DAFTAR PUSTAKA
Sulastianto,
Harry, dkk. 2004. Pendidikan Seni untuk SMA Kelas XII.
Bandung.
Grafindo.
Terimakasih sangat membantu, jgn lupa mampir ke seratan-manah.blogspot.com :)
BalasHapus